Rabu, Maret 10, 2010

pak mamat



Dear Friends,



Tidak jauh dari rumah saya di Jalan Jakarta tinggal seorang tua yang akrab dipanggil pak Mamat. Umurnya sekitar 65-an, namun terlihat lebih muda 10 tahun.

Di masa mudanya, dia cukup lama bekerja di keluarga orang tua saya. Selepas itu dia bekerja mandiri sebagai pemelihara kambing titipan orang lain, bertani, dan di waktu senggang berdagang sayur-mayur.

Kalau melihat kesederhanaannya, kita tidak akan menyangka bahwa dia termasuk orang yang mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.

Karena tertarik dengan pola hidupnya yang tidak lazim secara matematika bisnis, maka saya me­nyempatkan diri untuk bersilaturahmi de­ngannya. Nah, pada kesempatan bersilaturahmi itulah kami saling belajar memahami hakikat hidup ini.



Kesederhanaan Visi

Sebagai orang yang buta huruf, pak Mamat menyadari keterbatasan pengetahuannya dalam berinteraksi di dunia perdagangan. Apa yang menarik untuk kita cermati darinya adalah visi bisnisnya yang sangat sederhana, namun mengandung makna manajemen spiritual sangat dalam. Menurut keyakinannya dalam berdagang:

* Barang bagus harus punya harga bagus, sedangkan barang jelek tidak layak untuk diperdagangkan.
* Bila ingin membeli sesuatu maka bayarlah dengan tunai dan bila uangnya tidak cukup bayarlah keku­rangannya dengan barang lain yang dibutuhkan oleh penjual yang bernilai sama dengan kekurangannya.
* Memuaskan pelanggan adalah kepuasan batinnya.
* Silaturrahmi adalah kunci keberhasilan perdagangan.

Ketika dia ditanya tentang cita-citanya, jawabannya sangat sederhana namun visioner, yaitu ingin mengantar anak-anaknya berpendidikan, berpenghidupan, dan beragama lebih baik dari dirinya. Inilah pelajaran pertama yang saya dapat dari pak Mamat lebih dari 35 tahun lalu, yaitu mendefinisikan sebuah visi.



Ketika saya mencoba merealisasikan hal yang sama dalam keluarga saya sekian tahun kemudian, ternyata visi sederhana ini sangat sulit dicapai. Saya jatuh bangun sebagai seorang militer, karyawan, pengusaha, bahkan general manager dan direksi dari beberapa perusahaan nasional dan multinasional. Secara logika dapat dibayangkan bagaimana sulitnya seorang pak Mamat yang buta huruf, yang hidupnya sangat sederhana untuk mencapai cita-citanya dibandingkan dengan saya. Namun kenyataannya, pak Mamat telah mencapainya sedangkan perjalanan saya masih panjang. Inilah realitas kehidupan.



Kesederhanaan Misi

Secara matematis, untuk merealisasikan cita-cita pak Mamat dibutuhkan sumber daya keuangan yang tidak sedikit, dan menurut saya tidaklah mungkin dilakukan oleh seorang pemelihara kambing merangkap tukang sayur yang penghasilan per bulannya tidak lebih dari 700 ribu rupiah, nilai uang saat ini. Faktanya, dia sangat menekuni pekerjaannya itu. Hampir setiap waktu dia ada di sekitar kandang kambing dan kebun sayurannya.

Terdorong rasa iba melihat realitas ini, maka segera saya menawarkan pekerjaan melalui seorang teman kepadanya, namun dia menolaknya. Katanya ketika itu dengan logat Betawinya, “Nitipin kambing yang cakep aja dah, biar barokah. Atawa biarin ane ngegarap kebon kosongnye situ biar manfaat.”

Inilah pelajaran kedua dari pak Mamat kepada saya, yaitu menjabarkan misi untuk mencapai visinya.



Perhitungan Bisnis

Ketika saya menitipkan beberapa ekor kambing untuk dibesarkan awalnya untuk kurban di tanah air, dia tidak minta ongkos membesarkannya. Deal-nya adalah bagi hasil anak kambing, separuh untuk saya dan separuh untuknya. Kemudian ada persyaratan lain yaitu anak kambing hasil kerjasama yang menjadi hak saya harus diikhlaskan untuk menjadi kambing kurban. Dalam hal menggarap tanah kosong di Ciomas, deal-nya adalah bagi hasil panen, separuh untuk saya dan separuh untuknya. Dari hasil panen yang merupakan hak saya tersebut dia menawarkan diri untuk membantu menjualnya setelah terlebih dahulu disortir yang berkualitas baik.

Satu bulan sebelum Idul Kurban, pak Mamat mengirim foto memperlihatkan kambing hasil kerjasamanya, selalu gemuk dan sehat, dan biasanya langsung saya niatkan untuk dikurbankan.

Alangkah bahagianya perasaan saya saat itu karena saya melihat bukti nyata dari perjanjian kerjasama yang selalu ditepatinya. Ada kelegaan hati karena hewan kurban berkualitas baik telah tersedia.

Dari hasil panen kebun, disortir dan hasilnya di jual oleh pak Mamat. Begitulah tahun demi tahun kerjasama ini berjalan.



Di sinilah saya mendapat pelajaran ketiga darinya, yaitu cara menerapkan prinsip Well Organized, semua langkah yang dilakukannya terencana dengan baik dan tidak ada penyimpangan dari tujuan awal. Agaknya konsistensi inilah yang seringkali ditinggalkan oleh para manajer masa kini termasuk diri saya sendiri. Apakah kambing dan sayuran cukup untuk mendanai hidup keluarga pak Mamat termasuk menyekolahkan anak-anaknya? Disinilah matematika Qur’an berperan.

Mari kita simak petikan pernyataan surat Al-An’aam [QS 6:160] berikut: "Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya."

Inilah rahasia besar di balik konsistensi bisnis pak Mamat. Bisnisnya didasari pada amal shaleh. Nah, kalau sudah berbicara mengenai amal shaleh, maka ganjarannya bukan lagi logika bisnis biasa, tetapi sudah menggunakan logika langit.

Pada kenyataannya, hampir semua pembeli kam­bing pak Mamat ikhlas merogoh koceknya lebih banyak dibandingkan kalau mereka membeli kam­bing dari pedagang kambing musiman di saat-saat menjelang Idul Kurban, karena kambing piaraan pak Mamat berkualitas bagus, benar-benar sehat dan gemuk, apalagi dia hanya memelihara kambing dari jenis yang berbulu putih bersih. Dan hebatnya lagi, hampir semua kambing miliknya sudah dipesan beberapa bulan sebelum Idul Kurban.

Mari kita lihat bagaimana dia berdagang sayur mayur. Dia hanya menjual sayuran berkualitas bagus dari hasil kebunnya. Sedangkan yang kurang bagus dikonsumsi sendiri atau untuk ternaknya. Harga sa­yur-mayurnya kompetitif karena barang diantar sendiri ke pelanggannya mengikuti prinsip silaturrahmi yang dipegangnya dalam berdagang. Dengan cara ini, adakah pelanggan yang tidak dipuaskan? Maukah mereka membayar lebih untuk pelayanannya? Di sinilah makna surat Al-An’aam [QS 6:160] dengan mudah kita pahami.



Hikmah

Sebagai praktisi manajemen, saya bersyukur bersahabat dengan orang semacam pak Mamat ini. Di sini saya memahami bahwa agaknya prinsip amal shaleh ini pulalah yang telah ditinggalkan oleh para manajer masa kini sehingga berkah dari bisnis yang digelutinya tidak didapatkannya.

Apakah kita tertarik untuk me-reset kembali bisnis kita selama ini dan mengikuti pola bisnis beresensi amal shaleh seperti dicontohkan oleh "orang kecil" semacam pak Mamat?

Tidak ada komentar: